Add caption |
Dalam Al-Qur’an kata khusyu’ disebutkan sebanyak 17 kali dalam bentuk kata yg berbeda. Meskipun mayoritas tunjukannya kepada manusia namun ada juga sebahagian ayat yg menyatakan bahwa khusyu’ berlaku juga utk benda-benda yg lain seperti gunung dan bumi. Dengan adanya tunjukan kepada selain manusia ini paling tidak dapat dijadikan sebagai ‘ramuan’ utk membakukan arti khusyu’ yg sebenarnya.
Kata khusyu berasal dari kata khasya’a yang artinya takut. Seperti disebutkan dalam ayat Al-Quran: Wujûhun yaumaizin khâsyi’ah. Wajah-wajah pada hari itu ketakutan. (QS. Al-Ghasyiyah 2) Khâsyi’an berarti hati yang dipenuhi rasa takut; takut akan Allah swt dan takut bila masa hidupnya takkan sempat untuk mengumpulkan bekal buat hari akhir.
Dalam satu bait do’anya Imam Ali kw berdo’a “Wahai Tuhanku, anugerahkan kepadaku hati yang khusyu dan keyakinan yang tulus.”
Dalam kitab Ihyâ Ulumuddîn, Imam Ghazali menurunkan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Di antaranya adalah tentang kekhusyuan Imam Ali Zainal Abidin as. Diriwayatkan ketika Imam berwudlu hendak salat, tubuhnya selalu bergetar. Orang-orang bertanya, “Mengapa tubuhmu bergetar seperti itu?” Imam menjawab, “Engkau tidak tahu di hadapan siapa sebentar lagi aku akan berdiri.” Hatinya dipenuhi rasa takut luar biasa karena ia akan menemui Allah swt di dalam salatnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan hatinya berguncang keras.
Dalam kitab Futûhatul Makiyyah, karya Ibnu Arabi, juga diceritakan kisah-kisah tentang orang yang khusyu. Salah satunya adalah kisah tentang seorang pemuda belia yang mempelajari tasawuf kepada gurunya. Pada suatu pagi, pemuda itu menemui gurunya dalam keadaan pucat pasi.
Anak muda itu berkata, “Semalam, aku khatamkan Al-Quran dalam salat malamku.” Gurunya berkata,
“Bagus. Kalau begitu, aku sarankan nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan seakan-akan aku berada di hadapanmu dan mendengarkan bacaanmu.”
Esok harinya, pemuda itu mengeluh, “Ya Ustadz, tadi malam saya tidak sanggup menyelesaikan Al-Quran lebih dari setengahnya.”
Gurunya menjawab, “Kalau begitu, nanti malam bacalah Al-Quran dan hadirkan di hadapanmu para sahabat Nabi yang mendengarkan Al-Quran itu langsung dari Rasulullah saw.”
Keesokan harinya, pemuda itu berkata, “Ya Ustadz, semalam aku tak bisa menyelesaikan sepertiga dari Al-Quran itu.”
“Nanti malam,” kata gurunya, “bacalah Al-Quran dengan menghadirkan Rasulullah saw di hadapanmu, yang kepadanya Al-Quran itu turun.”
Esok paginya pemuda itu bercerita, “Tadi malam aku hanya bisa menyelesaikan Al-Quran itu satu juz saja. Itu pun dengan susah payah.”
Sang guru kembali berkata, “Nanti malam, bacalah Al-Quran itu dengan meng-hadirkan Jibril, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan Al-Quran kepada Rasulullah saw.” Esoknya, pemuda itu bercerita bahwa ia tak sanggup menyelesaikan satu juz Al-Quran.
Gurunya lalu berkata, “Nanti bila engkau membaca Al-Quran, hadirkan Allah swt di hadapanmu. Karena sebetulnya yang mendengarkan bacaan Al-Quran itu adalah Allah swt. Dialah yang menurunkan bacaan itu kepadamu.”
Esok harinya, pemuda itu jatuh sakit. Ketika gurunya bertanya, “Apa yang terjadi?” Anak muda itu menjawab, “Aku tak bisa menyelesaikan hatta Al-Fatihah sekalipun. Ketika hendak kuucapkan iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în, lidahku tak sanggup. Karena aku tahu hatiku tengah berdusta. Dalam mulut, kuucapkan: Tuhan, kepadamu aku beribadat, tapi dalam hatiku aku tahu aku sering memperhatikan selain Dia. Ucapan itu tidak mau keluar dari lidahku. Sampai terbit fajar, aku tak bisa menyelesaikan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ”
Tiga hari kemudian, anak muda itu meninggal dunia.
Sebetulnya yang diceritakan guru itu kepada muridnya adalah cara memperoleh hati yang khusyu. Hati yang khusyu adalah hati yang sanggup menghadirkan Allah swt di hadapan kita. Hal itu membutuhkan riyadhah-riyadhah terlebih dahulu. Sekarang kita paham mengapa dalam tarekat, kita harus menghadir-kan guru di dalam doa-doa kita. Hal itu sebenarnya adalah suatu latihan. Sulit bagi kita untuk menghadirkan Allah swt sekaligus, kita mulai dengan menghadirkan guru kita terlebih dahulu.
Kekhusyuan sering kali datang ketika kita digoncangkan kesulitan hidup. Penderitaan itu bagus karena membuat hati kita lebih khusyu dalam beribadah kepada Allah swt. Orang yang jarang menderita akan sulit memperoleh kekhusyuan. Kesenangan membuat hati kita keras seperti batu dan semakin keras hati, akan semakin sulit khusyu’.
Salah satu indikator kekhusyuan adalah tangisan. Walaupun tidak semua yang menangis itu karena khusyu. Anak-anak, misalnya, menangis bukan karena khusyu, melainkan karena dijewer oleh orang tuanya. Kita pun boleh menangis dengan tangisan karena jeweran. Tuhan ‘menjewer’ kita dengan penderitaan hidup. Kita lalu menangis, kita adukan penderitaan kita kepada Allah swt. Pada perkembangannya, tangisan itu lalu berproses; dari tangisan anak kecil menjadi tangisan karena kekhusyuan.
Penderitaan itu berguna untuk melembutkan hati kita. Seperti bunyi salah satu puisi Rumi:
Bunga-bunga mawar di taman takkan pernah merekah
Sebelum langit menurunkan air matanya
Bayi-bayi itu takkan pernah diberi susu
Sebelum mereka menangis terlebih dahulu
Maka menangislah kamu
Supaya Sang Perawat Agung datang memberikan padamu
Limpahan susu kasih sayang-Nya.
Menderita dan menangis itu perlu. Itulah sebabnya mengapa kaum muslimin sekarang di seluruh dunia, seperti di Afganistan, Irak, Palestina, Kosovo, dan Chechnya, sedang menderita. Derita itu dimaksudkan supaya mereka bisa meraih lagi kekhusyuan yang hilang.
Berdoalah selalu agar kita memperoleh hati yang khusyu’.Semoga kita semua selalu diberi anugerah berupa hati yang khusyu’. Amiin.
Semoga Bermanfaat
Wasalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)
SILAHKAN DI SUKAI / DI BAGIKAN KE BERANDA / DI TANDAI DI SALAH SATU FOTO DI ALBUM JIKA YANG DI TANDAI DAPAT TERMOTIVASI TUK BAIK,. INSYAALAH AKAN DI CATATKAN SEBAGAI SUATU AMAL BAIK, AAMIIN,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar