Khimar (kerudung)
Al-Qur’an juga datang dengan kata lain selain kata jilbab dalam mengutarakan penutup kepala sebagaimana yang termaktub dalam Surat An-Nuur : 31, Artinya: Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak padanya, dan hendaklan mereka menutupkan kain kudung di dadanya…
Kata Khumur dalam penggalan ayat di atas bentuk jama’ (plural) dari kata Khimar yang biasa diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai kerudung yang tidak lebar dan tidak panjang, sedang kalau kita melihat arti sebenarnya ketika Al-Qur’an itu datang kepada Nabi Muhammad SAW maka Mufassirin (ulama ahli tafsir Al Quran) berbeda pendapat dan kita akan melihat sedikit reduksi atau penyempitan arti dari arti pada waktu itu.
Imam Qurthubi menterjemahkan khumur secara lebih luas, yaitu semua yang menutupi kepala wanita baik itu panjang atau tidak, begitu juga dengan Imam Al-Alusiy beliau menterjemahkannya dengan kata miqna’ah yang berarti tutup kepala juga, tanpa menjelaskan bentuknya panjang atau lebarnya secara kongkrit.
Ayat Al-Qur’an di atas memerintahkan untuk memanjangkan kain penutup itu ke bagian dada yang di ambil dari kata juyuub (saku-saku baju) sehingga kalau wanita hanya memakai penutup kepala tanpa memanjangkannya ke bagian dada maka dia masih belum melaksanakan perintah ayat di atas, dengan kata lain penutup kepala menurut ayat di atas haruslah panjang menutupi dada dan sekitarnya, disamping juga ada baju muslimah yang menutupinya. Namun kalau kita teliti kata juyuub lebih lanjut dan apabila kita juga melihat sebab ayat itu diturunkan maka kita akan menemukan beberapa arti ayat (pendapat) yang dikemukakan oleh mufassir yang berbeda dengan pemahaman di atas.
Kata juyuub dalam ayat di atas juga dibaca jiyuub dalam tujuh bacaan Al-Qur’an yang mendapat legalitas dari umat Islam dan para Ulama dulu dan sekarang (qira’ah sab’ah), kata juyuub adalah bentuk jama’(plural) dari jaib yang berarti lubang bagian atas dari baju yang menampakkan leher dan pangkal leher. Imam Alusi menjelaskan kata jaib yang diartikan dengan lubangan untuk menaruh uang atau sejenisnya (saku baju) adalah bukan arti yang berlaku dalam pembicaraan orang arab saat Al-Qur’an turun, sebagaimana Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama, Imam Alusi juga menambahkan lagi dan berkata “tetapi kalaupun diartikan dengan saku juga tidaklah salah”, dari pembenaran dia bahwa arti jaib adalah saku tadi, Imam Alusiy artinya setuju kalau penutup kepala jilbab, kerudung atau yang lain adalah harus sampai menutup dada, meskipun beliau tidak mengungkapkannya dengan kata-kata yang jelas dan tegas tapi secara implisit beliau tidak menyalahkan pendapat itu.
Imam Bukhari dalam kitab hadist shohihnya, beliau setuju bila kata jaib diartikan dengan lubangan baju untuk menyimpan uang atau semisalnya (saku baju) tetapi sebaliknya Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhariy (buku atau komentar kepada suatu karya tulis seorang pengarang kitab dengan berupa kesetujuan penjelasan atau ketidak setujuan atau menjelaskan maksud pengarang kitab aslinya) yang berjudul Fath Al-bari, Ibn Hajar menjelaskan bahwa jaib adalah potongan dari baju sebagai tempat keluarnya kepala, tangan atau yang lain.dan banyak ulama lain yang sependapat dengan Ibnu Hajar, sedangkan Al-Ismaili mengartikan jaib itu dengan lingkaran kera baju.
Pembahasan arti kata jaib ini terasa penting karena letak saku baju tentu lebih di bawah dari pada kera atau lubangan leher baju, selanjutnya apakah penutup kepala yang hanya menutupi leher dan pangkal leher namun belum menutup sampai ke saku baju (yakni bagian dada) apakah sudah memenuhi perintah Allah SWT dalam ayat Al-Qur’an di atas.
Dari arti jaib yang masih dipertentangkan maka arti kata Juyuub di ayat tersebut di atas juga masih belum bisa di temukan titik temunya, saku baju atau lubang kepala. Sehingga bila diartikan saku maka menutup kepala dengan jilbab atau kain kerudung tidak cukup dengan yang pendek dan atau kecil tetapi harus panjang dan lebar sehingga bisa menutup tempat saku baju. Dan kalau juyuub dalam ayat di atas di artikan lubang baju untuk leher maka menutup kepala cukup memakai yang bisa menutup keseluruan aurat dengan sempurnah tanpa ada cela yang bisa menampakkan kulit serta tidak harus di panjangkan ke dada.
Namun apabila kita kembali kepada sebab diturunkannya ayat tersebut, seperti yang disebutkan dalam Lubabun Nuqul karya Imam Suyuti yaitu ketika Asma’ binti Martsad sedang berada di kebun kormanya, pada saat itu datanglah wanita-wanita masuk tanpa mengenakan penutup (yang sempurna) sehingga tampaklah kaki, dada, dan ujung rambut panjang mereka, lalu berkatalah Asma’, “Sungguh buruk sekali pemandangan ini”, maka turunlah ayat di atas.
Lebih terang Imam Qurtubi menjelaskan sebab ayat ini diturunkan yaitu karena wanita-wanita pada masa itu ketika metutup kepala maka mereka melepaskan dan membiarkan kain penutup kepala itu ke belakang punggungnya sehingga tidak menutup kepala lagi dan tampaklah leher dan dua telinga tanpa penutup di atasnya, oleh sebab itulah kemudian Allah SWT memerintahkan untuk melabuhkan kain jilbab ke dada sehingga leher dan telinga serta rambut mereka tertutupi, akan tetapi tetapi lebih lanjut Imam Qurtubi menjelaskan cara memakai tutup kepala, yaitu dengan menutupkan kain ke jaib (saku atau lubang leher) sehingga dada mereka juga ikut tertutupi.
Dari kedua sebab turunnya ayat di atas maka tampaknya bisa diambil kesamaan bahwa ayat di atas turun karena aurat (dalam hal ini leher, telinga dan rambut) masih belum tertutup dengan kain kerudung, sehingga turunlah ayat di atas memerintahkan untuk menutupnya, dengan kata lain, memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke jaib (saku atau lubang leher) itu adalah cara untuk menutup aurat yang diterangkan oleh Al-Qur’an sesuai dengan keadaan wanita-wanita masa itu, artinya bila aurat sudah tertutup tanpa harus memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada maka perintah memanjangkan itu sudah tidak wajib lagi sebab memanjangkan adalah cara untuk bertujuan memuntup aurat sedang apabila tujuan yang berupa menutup aurat itu sudah tercapai tanpa memanjangkan kain itu ke dada kerana keadaan yang berbeda dan adapt yang tidak sama maka boleh-boleh saja.
Ringkasnya jaib dengan arti lubang leher adalah tafsiran yang sesuai dengan sabab turunnya ayat di atas, dan memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada adalah tidak diwajibkan oleh ayat Al-Qur’an di atas, karena yang wajib adalah menutup aurat tanpa ada sedikitpun cela yang menampakkan kulit autar wanita. Wallahu ‘alam bish shawab.
Aurat Wanita
Dari ayat di atas pula para ulama juga berbeda pendapat tentang kaki sampai mata kaki, tangan sampai pegelangan dan wajah dari seorang wanita apakah itu termasuk aurat yang wajib di tutup atukah tidak(?) Yaitu ketika menafsirkan kata ziinah (perhiasan) bagi yang mengartikan dengan perhiasan yang khalqiyah (keindahnya tubuh) seperti kecantikan dan daya tarik seorang wanita, bagi kelompok ini termasuk Imam Al-Qaffal kata “kecuali yang tampak darinya” diartikan dengan anggota badan yang tampak dalam kebiasaan dan keseharian masyarakat seperti wajah dan telapak tangan karena menutup keduanya adalah dorurat (keterpaksaan) yang bila diwajibkan akan bertentangan dengan agama Islam yang diturunkan penuh kemudahan bagi pemeluknya, oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bolehnya membuka wajah dan telapak tangan (meski sebenarnya dalam madzhab syafi’i masih ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, misalnya dalam kitab Azza Zawajir wajah dan telapak tangan wanita merdeka adalah aurat yang tidak boleh dibuka atau dilihat karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah jinsiyah (godaan seksual), adapun di dalam shalat maka itu bukan aurat tetapi tetap haram untuk dibuka atau dilihat).
Sedangkan yang menafsirkan kata ziinah (perhiasan) dengan perhiasan yang biasa di pakai wanita, mulai dari yang wajib dipakai seperti baju, pakaian bawah yang lain yang digunakan menutup badan wanitia sampai perhiasan yang hanya boleh dipakai wanita seperti pewarna kuku, pewarna telapak tangan, pewarna kulit, kalung, gelang, anting dan lain-lain, maka mereka (mufassir) itu mengartikan kata “dengan perhiasan-perhiasan yang biasa tampak” seperti cincin, celak mata, pewarna tangan dan yang tidak mungkin untuk ditutup seperti baju, pakaian bawah bagian luar dan jilbab atau kerudung.
Dan adapun telapak kaki maka tidak termasuk yang boleh di buka karena keterpaksaan untuk membukanya dianggap tidak ada, namun yang lebih shahih (benar) menurut Imam Ar-Rozi dalam tafsirnya hukum menampakkan cincin, gelang, pewarna tangan, kuku, dan sebagainya adalah seperti hukum membuka kaki yaitu haram untuk dibuka sebab tidak ada kebutuhan yang memaksa untuk boleh membukanya menurut agama.
Semua hal di atas adalah di luar waktu melaksanakan shalat dan selain wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan diperjual belikan) yaitu wanita muslimah zaman sekarang.
Adapun waktu melaksakan shalat, Madzhab Hanafi berpendapat kalau semua badan wanita adalah aurat dan termasuk di dalamnya adalah rambut yang memanjang di samping telinga kecuali telapak tangan dan bagian atas dari telapak kaki. Madzhab Syafi’i berpendapat yang sama yaitu semua anggota badan wanita ketika shalat adalah aurat yang wajib ditutup kecuali wajah telapak tangan dan telapak kaki yang dalam (yang putih).
Madzhab Hambali mengecualikan wajah saja selain itu semuanya aurat termasuk telapak tangan dan kaki. Sedangkan ulama-ulama madzhab Maliki menjelaskan bahwa dalam shalat aurat laki-laki, wanita merdeka dan budak, terbagi menjadi dua:
1. Aurat mughalladhah (berat), untuk laki-laki aurat ini adalah dua kemaluan depan dan belakang, sedangkan bagi wanita merdeka aurat ini adalah semua badan kecuali tangan, kaki, kepala dada dan sekitarnya (bagian belakangnya).
2. Aurat mukhaffafah (ringan), aurat ini untuk laki-laki adalah selain mugalladhah yang berada diantara pusar dan lutut, sedang untuk wanita merdeka adalah tangan, kaki, kepala, dada dan bagian belakangnya, dua lengan tangan, leher, kepala, dari lutut sampai akhir telapak kaki dan adapun wajah dan kedua telapak tangan (luar atau dalam) tidak termasuk aurat wanita dalam shalat baik yang mugalladhah atau yang mukhaffafah. Untuk wanita budak aurat ini adalah sebagaimana laki-laki namun di tambah pantat dan sekitarnya dan kemaluan, vulva dan bagian yang ditumbuhi rambut kemaluan itu.
Ulama-ulama madzhab Maliki juga menjelaskan bahwa apabila seorang melakukan shalat dengan tidak menutup aurat mugalladhah meskipun hanya sedikit dan dia mampu menutupnya baik membeli kain penutup atau meminjam (tidak wajib menerima penutup aurat bila penutup aurat itu diberikan dengan cara hibah pemberian murni) maka shalat yang demikian hukumnya adalah tidak sah dan batal dan apabila dia ingat kewajiban untuk menutup aurat itu maka wajib baginya untuk mengulang shalatnya ketika dia telah siap melaksakan shalat dengan menutup aurat mughalladhah itu.
Sedangkan bila aurat mukhaffafah saja yang terbuka semua atau sebagiannya maka shalatnya tetap sah, tetapi di haramkan atau di makruhkan bila mampu untuk menutup aurat itu dengan sempurnah dan apabila telah ada penutup aurat yang sempurnah maka dia di sunnatkan untuk mengulang shalatnya (ada perincian tetacara pengulangan shalatnya (lihat madzhibul arba’ah).
Hijab
Al-Qur’an juga mengungkapkan punutup seorang wanita dengan kata hijab yang artinya penutup secara umum, Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 58 memerintah kepada para sahabat Nabi SAW pada waktu mereka meminta suatu barang kepada istri-istri Nabi SAW untuk memintanya dari balik hijab (tutup). Artinya; Dan bila engkau meminta sesuatu (keparluan) kepada mereka (istri-istri Nabi SAW) maka mintalah dari belakang tabir,cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka… (Al-Ahzab : 58).
Seperti yang di terangkan di atas, hijab lebih luas artinya dari kata jilbab atau khimar meskipuan ayat di atas adalah turun untuk para istri-istri Nabi Saw tapi para ulama` sepakat dalam hal ini bahwa semua wanita muslimah juga termasuk dalam ayat di atas, sehingga yang di ambil adalah umumnya arti suatu lafad atau kalimat ayat Al-Qur’an, bukan sebab yang khusus untuk istri-istri Nabi saja.
Ayat di atas memerintahkan pada wanita muslimah untuk mengenakan penutup yang demikian itu adalah lebih baik untuk dirinya dan laki-laki lain yang sedang berkepentingan dengannya, adapun cara berhijab di atas adalah dengan berbagai cara yang bisa menutup aurat dan tidak bertentangan dengan maksud dari disyariatkannya pakaian penutup bagi wanita, sehingga kalau memakai pakaian yang sebaliknya bisa merangsang terjadinya keburukan maka itu bukan dan belum di namakan berhijab atau bertutup.
Al-Qur’an juga datang dengan kata lain selain kata jilbab dalam mengutarakan penutup kepala sebagaimana yang termaktub dalam Surat An-Nuur : 31, Artinya: Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak padanya, dan hendaklan mereka menutupkan kain kudung di dadanya…
Kata Khumur dalam penggalan ayat di atas bentuk jama’ (plural) dari kata Khimar yang biasa diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai kerudung yang tidak lebar dan tidak panjang, sedang kalau kita melihat arti sebenarnya ketika Al-Qur’an itu datang kepada Nabi Muhammad SAW maka Mufassirin (ulama ahli tafsir Al Quran) berbeda pendapat dan kita akan melihat sedikit reduksi atau penyempitan arti dari arti pada waktu itu.
Imam Qurthubi menterjemahkan khumur secara lebih luas, yaitu semua yang menutupi kepala wanita baik itu panjang atau tidak, begitu juga dengan Imam Al-Alusiy beliau menterjemahkannya dengan kata miqna’ah yang berarti tutup kepala juga, tanpa menjelaskan bentuknya panjang atau lebarnya secara kongkrit.
Ayat Al-Qur’an di atas memerintahkan untuk memanjangkan kain penutup itu ke bagian dada yang di ambil dari kata juyuub (saku-saku baju) sehingga kalau wanita hanya memakai penutup kepala tanpa memanjangkannya ke bagian dada maka dia masih belum melaksanakan perintah ayat di atas, dengan kata lain penutup kepala menurut ayat di atas haruslah panjang menutupi dada dan sekitarnya, disamping juga ada baju muslimah yang menutupinya. Namun kalau kita teliti kata juyuub lebih lanjut dan apabila kita juga melihat sebab ayat itu diturunkan maka kita akan menemukan beberapa arti ayat (pendapat) yang dikemukakan oleh mufassir yang berbeda dengan pemahaman di atas.
Kata juyuub dalam ayat di atas juga dibaca jiyuub dalam tujuh bacaan Al-Qur’an yang mendapat legalitas dari umat Islam dan para Ulama dulu dan sekarang (qira’ah sab’ah), kata juyuub adalah bentuk jama’(plural) dari jaib yang berarti lubang bagian atas dari baju yang menampakkan leher dan pangkal leher. Imam Alusi menjelaskan kata jaib yang diartikan dengan lubangan untuk menaruh uang atau sejenisnya (saku baju) adalah bukan arti yang berlaku dalam pembicaraan orang arab saat Al-Qur’an turun, sebagaimana Ibnu Taimiyah juga berpendapat yang sama, Imam Alusi juga menambahkan lagi dan berkata “tetapi kalaupun diartikan dengan saku juga tidaklah salah”, dari pembenaran dia bahwa arti jaib adalah saku tadi, Imam Alusiy artinya setuju kalau penutup kepala jilbab, kerudung atau yang lain adalah harus sampai menutup dada, meskipun beliau tidak mengungkapkannya dengan kata-kata yang jelas dan tegas tapi secara implisit beliau tidak menyalahkan pendapat itu.
Imam Bukhari dalam kitab hadist shohihnya, beliau setuju bila kata jaib diartikan dengan lubangan baju untuk menyimpan uang atau semisalnya (saku baju) tetapi sebaliknya Ibnu Hajar dalam Syarah Shahih Bukhariy (buku atau komentar kepada suatu karya tulis seorang pengarang kitab dengan berupa kesetujuan penjelasan atau ketidak setujuan atau menjelaskan maksud pengarang kitab aslinya) yang berjudul Fath Al-bari, Ibn Hajar menjelaskan bahwa jaib adalah potongan dari baju sebagai tempat keluarnya kepala, tangan atau yang lain.dan banyak ulama lain yang sependapat dengan Ibnu Hajar, sedangkan Al-Ismaili mengartikan jaib itu dengan lingkaran kera baju.
Pembahasan arti kata jaib ini terasa penting karena letak saku baju tentu lebih di bawah dari pada kera atau lubangan leher baju, selanjutnya apakah penutup kepala yang hanya menutupi leher dan pangkal leher namun belum menutup sampai ke saku baju (yakni bagian dada) apakah sudah memenuhi perintah Allah SWT dalam ayat Al-Qur’an di atas.
Dari arti jaib yang masih dipertentangkan maka arti kata Juyuub di ayat tersebut di atas juga masih belum bisa di temukan titik temunya, saku baju atau lubang kepala. Sehingga bila diartikan saku maka menutup kepala dengan jilbab atau kain kerudung tidak cukup dengan yang pendek dan atau kecil tetapi harus panjang dan lebar sehingga bisa menutup tempat saku baju. Dan kalau juyuub dalam ayat di atas di artikan lubang baju untuk leher maka menutup kepala cukup memakai yang bisa menutup keseluruan aurat dengan sempurnah tanpa ada cela yang bisa menampakkan kulit serta tidak harus di panjangkan ke dada.
Namun apabila kita kembali kepada sebab diturunkannya ayat tersebut, seperti yang disebutkan dalam Lubabun Nuqul karya Imam Suyuti yaitu ketika Asma’ binti Martsad sedang berada di kebun kormanya, pada saat itu datanglah wanita-wanita masuk tanpa mengenakan penutup (yang sempurna) sehingga tampaklah kaki, dada, dan ujung rambut panjang mereka, lalu berkatalah Asma’, “Sungguh buruk sekali pemandangan ini”, maka turunlah ayat di atas.
Lebih terang Imam Qurtubi menjelaskan sebab ayat ini diturunkan yaitu karena wanita-wanita pada masa itu ketika metutup kepala maka mereka melepaskan dan membiarkan kain penutup kepala itu ke belakang punggungnya sehingga tidak menutup kepala lagi dan tampaklah leher dan dua telinga tanpa penutup di atasnya, oleh sebab itulah kemudian Allah SWT memerintahkan untuk melabuhkan kain jilbab ke dada sehingga leher dan telinga serta rambut mereka tertutupi, akan tetapi tetapi lebih lanjut Imam Qurtubi menjelaskan cara memakai tutup kepala, yaitu dengan menutupkan kain ke jaib (saku atau lubang leher) sehingga dada mereka juga ikut tertutupi.
Dari kedua sebab turunnya ayat di atas maka tampaknya bisa diambil kesamaan bahwa ayat di atas turun karena aurat (dalam hal ini leher, telinga dan rambut) masih belum tertutup dengan kain kerudung, sehingga turunlah ayat di atas memerintahkan untuk menutupnya, dengan kata lain, memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke jaib (saku atau lubang leher) itu adalah cara untuk menutup aurat yang diterangkan oleh Al-Qur’an sesuai dengan keadaan wanita-wanita masa itu, artinya bila aurat sudah tertutup tanpa harus memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada maka perintah memanjangkan itu sudah tidak wajib lagi sebab memanjangkan adalah cara untuk bertujuan memuntup aurat sedang apabila tujuan yang berupa menutup aurat itu sudah tercapai tanpa memanjangkan kain itu ke dada kerana keadaan yang berbeda dan adapt yang tidak sama maka boleh-boleh saja.
Ringkasnya jaib dengan arti lubang leher adalah tafsiran yang sesuai dengan sabab turunnya ayat di atas, dan memanjangkan kain kerudung atau jilbab ke dada adalah tidak diwajibkan oleh ayat Al-Qur’an di atas, karena yang wajib adalah menutup aurat tanpa ada sedikitpun cela yang menampakkan kulit autar wanita. Wallahu ‘alam bish shawab.
Aurat Wanita
Dari ayat di atas pula para ulama juga berbeda pendapat tentang kaki sampai mata kaki, tangan sampai pegelangan dan wajah dari seorang wanita apakah itu termasuk aurat yang wajib di tutup atukah tidak(?) Yaitu ketika menafsirkan kata ziinah (perhiasan) bagi yang mengartikan dengan perhiasan yang khalqiyah (keindahnya tubuh) seperti kecantikan dan daya tarik seorang wanita, bagi kelompok ini termasuk Imam Al-Qaffal kata “kecuali yang tampak darinya” diartikan dengan anggota badan yang tampak dalam kebiasaan dan keseharian masyarakat seperti wajah dan telapak tangan karena menutup keduanya adalah dorurat (keterpaksaan) yang bila diwajibkan akan bertentangan dengan agama Islam yang diturunkan penuh kemudahan bagi pemeluknya, oleh sebab itu tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bolehnya membuka wajah dan telapak tangan (meski sebenarnya dalam madzhab syafi’i masih ada yang berbeda pendapat dalam hal ini, misalnya dalam kitab Azza Zawajir wajah dan telapak tangan wanita merdeka adalah aurat yang tidak boleh dibuka atau dilihat karena melihatnya bisa menimbulkan fitnah jinsiyah (godaan seksual), adapun di dalam shalat maka itu bukan aurat tetapi tetap haram untuk dibuka atau dilihat).
Sedangkan yang menafsirkan kata ziinah (perhiasan) dengan perhiasan yang biasa di pakai wanita, mulai dari yang wajib dipakai seperti baju, pakaian bawah yang lain yang digunakan menutup badan wanitia sampai perhiasan yang hanya boleh dipakai wanita seperti pewarna kuku, pewarna telapak tangan, pewarna kulit, kalung, gelang, anting dan lain-lain, maka mereka (mufassir) itu mengartikan kata “dengan perhiasan-perhiasan yang biasa tampak” seperti cincin, celak mata, pewarna tangan dan yang tidak mungkin untuk ditutup seperti baju, pakaian bawah bagian luar dan jilbab atau kerudung.
Dan adapun telapak kaki maka tidak termasuk yang boleh di buka karena keterpaksaan untuk membukanya dianggap tidak ada, namun yang lebih shahih (benar) menurut Imam Ar-Rozi dalam tafsirnya hukum menampakkan cincin, gelang, pewarna tangan, kuku, dan sebagainya adalah seperti hukum membuka kaki yaitu haram untuk dibuka sebab tidak ada kebutuhan yang memaksa untuk boleh membukanya menurut agama.
Semua hal di atas adalah di luar waktu melaksanakan shalat dan selain wanita budak (wanita yang bisa dimiliki dan diperjual belikan) yaitu wanita muslimah zaman sekarang.
Adapun waktu melaksakan shalat, Madzhab Hanafi berpendapat kalau semua badan wanita adalah aurat dan termasuk di dalamnya adalah rambut yang memanjang di samping telinga kecuali telapak tangan dan bagian atas dari telapak kaki. Madzhab Syafi’i berpendapat yang sama yaitu semua anggota badan wanita ketika shalat adalah aurat yang wajib ditutup kecuali wajah telapak tangan dan telapak kaki yang dalam (yang putih).
Madzhab Hambali mengecualikan wajah saja selain itu semuanya aurat termasuk telapak tangan dan kaki. Sedangkan ulama-ulama madzhab Maliki menjelaskan bahwa dalam shalat aurat laki-laki, wanita merdeka dan budak, terbagi menjadi dua:
1. Aurat mughalladhah (berat), untuk laki-laki aurat ini adalah dua kemaluan depan dan belakang, sedangkan bagi wanita merdeka aurat ini adalah semua badan kecuali tangan, kaki, kepala dada dan sekitarnya (bagian belakangnya).
2. Aurat mukhaffafah (ringan), aurat ini untuk laki-laki adalah selain mugalladhah yang berada diantara pusar dan lutut, sedang untuk wanita merdeka adalah tangan, kaki, kepala, dada dan bagian belakangnya, dua lengan tangan, leher, kepala, dari lutut sampai akhir telapak kaki dan adapun wajah dan kedua telapak tangan (luar atau dalam) tidak termasuk aurat wanita dalam shalat baik yang mugalladhah atau yang mukhaffafah. Untuk wanita budak aurat ini adalah sebagaimana laki-laki namun di tambah pantat dan sekitarnya dan kemaluan, vulva dan bagian yang ditumbuhi rambut kemaluan itu.
Ulama-ulama madzhab Maliki juga menjelaskan bahwa apabila seorang melakukan shalat dengan tidak menutup aurat mugalladhah meskipun hanya sedikit dan dia mampu menutupnya baik membeli kain penutup atau meminjam (tidak wajib menerima penutup aurat bila penutup aurat itu diberikan dengan cara hibah pemberian murni) maka shalat yang demikian hukumnya adalah tidak sah dan batal dan apabila dia ingat kewajiban untuk menutup aurat itu maka wajib baginya untuk mengulang shalatnya ketika dia telah siap melaksakan shalat dengan menutup aurat mughalladhah itu.
Sedangkan bila aurat mukhaffafah saja yang terbuka semua atau sebagiannya maka shalatnya tetap sah, tetapi di haramkan atau di makruhkan bila mampu untuk menutup aurat itu dengan sempurnah dan apabila telah ada penutup aurat yang sempurnah maka dia di sunnatkan untuk mengulang shalatnya (ada perincian tetacara pengulangan shalatnya (lihat madzhibul arba’ah).
Hijab
Al-Qur’an juga mengungkapkan punutup seorang wanita dengan kata hijab yang artinya penutup secara umum, Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 58 memerintah kepada para sahabat Nabi SAW pada waktu mereka meminta suatu barang kepada istri-istri Nabi SAW untuk memintanya dari balik hijab (tutup). Artinya; Dan bila engkau meminta sesuatu (keparluan) kepada mereka (istri-istri Nabi SAW) maka mintalah dari belakang tabir,cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka… (Al-Ahzab : 58).
Seperti yang di terangkan di atas, hijab lebih luas artinya dari kata jilbab atau khimar meskipuan ayat di atas adalah turun untuk para istri-istri Nabi Saw tapi para ulama` sepakat dalam hal ini bahwa semua wanita muslimah juga termasuk dalam ayat di atas, sehingga yang di ambil adalah umumnya arti suatu lafad atau kalimat ayat Al-Qur’an, bukan sebab yang khusus untuk istri-istri Nabi saja.
Ayat di atas memerintahkan pada wanita muslimah untuk mengenakan penutup yang demikian itu adalah lebih baik untuk dirinya dan laki-laki lain yang sedang berkepentingan dengannya, adapun cara berhijab di atas adalah dengan berbagai cara yang bisa menutup aurat dan tidak bertentangan dengan maksud dari disyariatkannya pakaian penutup bagi wanita, sehingga kalau memakai pakaian yang sebaliknya bisa merangsang terjadinya keburukan maka itu bukan dan belum di namakan berhijab atau bertutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar