Jumat, 24 Agustus 2012

Silaturrahim


Di antara pintu-pintu rizki adalah silaturrahim. Pembi-caraan masalah ini dengan memohon pertolongan Allah akan saya bahas melalui empat poin berikut:

A. Makna Silaturrahim

Makna ‘ar-rahim’ adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:‘Ar-rahim secara umum adalah dimaksud-kan untuk para kerabat dekat. Antara mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak.”

Menurut pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi) saja.


Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian.”[1]

Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah (ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para karib kerabat dekat –baik menurut garis keturunan maupun perkawinan– berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka.[2]

B. Dalil Syar’i Bahwa Silaturrahim Ter-masuk Kunci Rizki

Beberapa hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala menjadikan silaturrahim termasuk di antara sebab kela-pangan rizki. Di antara hadits-hadits dan atsar-atsar itu adalah:
  • Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
    “Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya)[3] maka hen-daknyalah ia menyambung (tali) silaturrahim.” [4] 
  • Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
    “Siapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung silaturrahim.” [5]

    Dalam hadits yang mulia di atas, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan dua hal, kelapangan rizki dan bertambahnya usia.

    Ini adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh makh-luk Allah yang paling benar dan jujur, yang berbicara berda-sarkan wahyu, Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam . Maka barangsiapa me-nginginkan dua buah di atas hendaknya ia menaburkan be-nihnya, yaitu silaturrahim. Demikianlah, sehingga Imam Al-Bukhari memberi judul untuk kedua hadits itu dengan “Bab Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan Silaturrahim.”[6] Artinya, dengan sebab silaturrahim.[7]

    Imam Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik Radhiallaahu anhu dalam kitab shahihnya dan beliau memberi judul dengan “Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan Banyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyambung Silaturrahim.[8] 
  • Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam beliau bersabda:

    “Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia.” [9]

    Dalam hadits yang mulia Ini Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan bahwa silaturrahim ini membuahkan tiga hal, di antaranya adalah ia menjadi sebab banyaknya harta. 
  • Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam , beliau bersabda:

    “Barangsiapa senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta dihindarkan dari kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim.” [10]

    Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam yang jujur dan terpercaya, menjelaskan tiga manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki dua sifat; bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu dari tiga manfaat itu adalah keluasan rizki. 
  • Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiallaahu anhu ia berkata:
    “Barangsiapa bertaqwa kepada Tuhannya dan menyam-bung silaturrahim, niscaya dipanjangkan umurnya dan dibanyakkan rizkinya dan dicintai oleh keluarganya.” [11] 
  • Demikian besarnya pengaruh silaturrahim dalam ber-kembangnya harta benda dan menjauhkan kemiskinan, sam-pai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh silaturrahim, harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka jauh dari kefakiran, karena karunia Allah Subhannahu wa Ta'ala .

    Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bahwasanya beliau bersabda:
    “Sesungguhnya keta’atan yang paling disegerakan pahalanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga suatu keluarga yang ahli maskiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan (kekurangan).” [12]
C. Apa Saja Sarana Untuk Silaturrahim ?

Sebagian orang menyempitkan makna silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari itu. Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat serta (upaya) untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau dengan lainnya.

Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: “Silaturrahim itu bisa dengan harta, dengan memberikan kebutuhan mereka, dengan menolak keburukan dari mereka, dengan wajah yang berseri-seri serta dengan do’a.”

Makna silaturrahim yang lengkap adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan dari segala bentuk kebaikan, serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak dari keburukan sesuai dengan kemampuannya (kepada kerabat dekat).[13]

D. Tata Cara Silaturrahim dengan Para Ahli Maksiat

Sebagian orang salah dalam memahami tata cara silaturrahim dengan para ahli maksiat. Mereka mengira bahwa bersilaturrahim dengan mereka berarti juga mencintai dan menyayangi mereka, bersama-sama duduk dalam satu majelis dengan mereka, makan bersama-sama mereka serta bersikap lembut dengan mereka. Ini adalah tidak benar.

Semua memaklumi bahwa Islam tidak melarang berbuat baik kepada kerabat dekat yang suka berbuat maksiat, bahkan hingga kepada orang-orang kafir. Allah berfirman:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan ber-laku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi-mu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8).

Demikian pula sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma’ binti Abu Bakar Radhiallaahu anhu yang menanyakan Rasullah Shallallaahu alaihi wa Salam untuk bersilaturrahmi kepada ibunya yang musyrik. Dalam hadits ini diantaranya disebutkan:

“Aku bertanya, ‘Sesungguhnya ibuku datang dan ia sangat berharap[14], apakah aku harus menyambung (silaturrahim) dengan ibuku?’ Beliau Shallallaahu alaihi wa Salam menjawab, ‘Ya, sambunglah (silaturrahim) dengan ibumu’.” [15]

Tetapi, itu bukan berarti harus saling mencintai dan menyayangi, duduk-duduk satu majelis dengan mereka. Bersa-ma-sama makan dengan mereka serta bersikap lembut dengan orang-orang kafir dan ahli maksiat tersebut. Allah ber-firman:

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang ber-iman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-sudara atau pun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22).

Makna ayat yang mulia ini –sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Razi– adalah bahwasanya tidak akan bertemu antara iman dengan kecintaan kepada musuh-musuh Allah. Karena jika seseorang mencintai orang lain maka tidak mungkin ia akan mencintai musuh orang tersebut.[16]

Dan berdasarkan ayat ini, Imam Malik menyatakan bolehnya memusuhi kelompok Qadariyah dan tidak duduk satu majelis dengan mereka.[17]

Imam Al-Qurthubi mengomentari dasar hukum Imam Malik: “Saya berkata, ‘Termasuk dalam makna kelompok Qadariyah adalah semua orang yang zhalim dan yang suka memusuhi’.”[18]

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia tersebut berkata: “Artinya, mereka tidak saling mencintai dengan orang yang suka menentang (Allah dan RasulNya), bahkan meskipun mereka termasuk kerabat dekat.”[19]

Sebaliknya, silaturrahim dengan mereka adalah dalam upaya untuk menghalangi mereka agar tidak mendekat kepada Neraka dan menjauhi dari Surga. Tetapi, bila kondisi mengisyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan cara memutuskan hubungan dengan mereka, maka pemutusan hubungan tersebut –dalam kondisi demikian– dapat dikategorikan sebagai silaturrahim.

Dalam hal ini, Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: “Jika mereka itu orang-orang kafir atau suka berbuat dosa maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah adalah (bentuk) silaturrahim dengan mereka. Tapi dengan syarat telah ada usaha untuk menasehati dan memberitahu mereka, dan mereka masih terus membandel. Kemudian, hal itu (pe-mutusan silaturrahim) dilakukan karena mereka tidak mau menerima kebenaran. Meskipun demikian, mereka masih tetap berkewajiban mendo’akan mereka tanpa sepengetahuan mereka agar mereka kembali ke jalan yang lurus.[20]

[1]Fathul Bari, 10/414.
[2] Murtqatul Mafatih, 8/645.
[3] Catatan: “Para ahli hadits mengangkat persoalan seputar bertambahnya umur karena silaturrahim dan mereka memberikan jawabannya. Misalnya dalam Fathul Bari disebutkan, Ibnu At-Tin berkata, “Secara lahiriah, hadits itu bertentangan dengan firman Allah:
“Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Al-A’raf: 34).
Untuk mencari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, bahwasanya tambahan (umur) yang dimaksud adalah kinayah dari usia yang diberi berkah karena mendapat taufik untuk menjalankan keta’atan, ia menyibukkan waktunya dengan apa yang bermanfaat di akhirat, serta menjaga dari menyia-nyiakan waktunya untuk hal lain (yang tidak bermanfaat). Kedua, tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Dan itu berkaitan dengan malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat perama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Subhannahu wa Ta'ala Umpamanya dikatakan kepada malaikat, “Sesungguhnya umur fulan adalah 100 tahun jika dia menyambung silaturrahim dan 60 tahun jika ia memutuskannya”. Dalam ilmu Allah telah diketahui bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturrahim. Dan apa yang ada di dalam ilmu Allah itu tidak akan maju atau mundur. Adapun yang ada dalam ilmu malaikat maka hal itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Itulah yang diisyaratkan oleh firman Allah:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39)
Jadi, yang dimaksudkan dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu adalah apa yang ada dalam ilmu malaikat. Sedangkan apa yang ada di dalam Lauh Mahfuzh itu merupakan ilmu Allah, yang tidak akan ada penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al-qadha’ al-mubram (taqdir/putusan yang pasti), sedang yang pertama (dalam ilmu malaikat) disebut al-qadha’ al-mu’allaq (taqdir/putusan yang masih menggantung). (Fathul Bari, 10/416 secara ringkas. Lihat pula, Syarah Nawawi, 16/114, ‘Umdatul Qari, 22/91).
[4] Shahihul Bukhari, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu fir Rizqi Bishilatir Rahim, no.5985, 10/415.
[5] Op. cit., No. 5986, 10/415.
[6] Op. Cit., 10/415.
[7] Umdatul Qari, 22/91
[8] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Birri wal Ihsan, bab Shilaturrahim wa Qath’iha, 2/180.
[9] Al-Musnad, no. 8855, 17/142. Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Birri wash Shilah, Bab Ma Ja’a fi Ta’limin Nasab, no. 2045, 6/96-97, dan lafazh ini miliknya. Al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Kitabul Birr wash Shilah, 4/161. Imam Al-Hakim berkata, “Hadits ini sanadnya shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.” (Op. Cit., 4/161). Hal ini juga disepakati oleh Adz-Dzahabi (At-Talkhis, 4/161). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menyatakan sanadnya shahih. (Hamisyul Musnad, 17/42). Dan ia dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/190).
[10] Al-Musnad, no. 1212, 2/290. Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, Kitabul Birri wash Shilah, bab Shilaturrahim wa Qatha’iha, 8/152-153. Tentang hadits ini, Al-Hafizh Al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar dan Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath.” Para perawi Al-Bazar adalah perawi-perawi Shahih Muslim, selain Ashim bin Hamzah, dia adalah orang tsiqath (terpercaya). (Op. cit., 8/153). Disebutkan Ashim bin Hamzah, yang benar adalah Ashim bin Dhamrah. Penulisan Hamzah adalah kesalahan cetak. (Hamisyul Musnad, 2/290). Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Sanad hadits ini shahih”. (Op. cit., 2/290).
[11] Al-Adabul Mufrad, bab Man Washala Rahimahu Ahabbahu Allah, no.59, hal. 37.
[12] Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban, Kitabul Birr wal Ihsan, bab Shilaturrahim wa Qath’iha, no. 440, 2/182-183. Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth menshahihkan hadits ini ketika menyebutkan dalil-dalil pada catatan kaki Al-Ihsan. (2/183-184).
[13] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 6/30.
[14] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata. “Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Ia datang kepadaku dalam keadaan penuh harapan dan rasa takut’. Maknanya, bahwa ia datang dengan harapan agar puterinya berbuat baik kepadanya. Dan ia takut jika harapannya ditolak dan tak membawa hasil. Demikian seperti yang diterangkan oleh mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 5/234).
[15] Hadits diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. (Shahihul Bukhari, Kitabul Hibah, bab Al-Hadiyyah lil Musyrikin…., no. 2620, 5/233). Imam Al-Khathabi berkata: “Ini menunjukkan bahwa kerabat dekat yang kafir disambung silaturrahimnya dengan harta atau sejenisnya sebagaimana kaum muslimin disambung silaturrahimnya dengannya.” (Dinukil dari Fathul Bari, 5/234).
[16] At-Tafsirul Kabir, 29/276. Fathul Qadir, 5/272.
[17] Ahkamul Qur’an oleh Ibnul Arabi, 4/1763. Tafsir Al-Qurthubi, 17/307.
[18] Op. cit., 17/307. Lihat pula, Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, 26/80.
[19] Tafsir Ibnu Katsir, 4/347.
[20] Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 6/30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar