JAKARTA - Muhammad Luthfi Nurfakhri masih berstatus pelajar kelas XI di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor. Meski masih pelajar, hasratnya untuk membantu petani telah membawa Luthfi meraih juara di ajang International Science and Engineering Festival (ISEF) 2012 di Pittsburgh, Amerika Serikat.
Add caption |
Di ajang internasional tersebut, alat Digital Leaf Color Chart (DLCC) buatannya mengantarnya ke kursi juara ketiga. Selain memperoleh hadiah sekira USD1000, Luthfi mengungkapkan, dirinya juga memperoleh penghargaan dari angkatan darat dan laut AS.
Uji coba yang dilakukannya untuk membuat DLCC bukan tanpa kendala. Selama pengembangan alat tersebut, mulai dari April 2011 sampai Mei 2012, dia mengalami 135 kali kegagalan. Namun dukungan dari keluarganya terus memantapkan langkah Luthfi.
“Kurang lebih ada 135 kali kegagalan dalam waktu satu tahun. Kendalanya lebih ke arah teknis. Sensornya berbeda-beda, ICnya berbeda-beda, ada juga yang terbakar jadi alatnya rusak. Saya harus bolak-balik ke Jakarta, beli komponennya di Glodok,” ujarnya ketika menghadiri penyambutan delegasi Indonesia di kantor Kemendikbud, beberapa hari lalu.
Berawal dari Petani
Luthfi mengatakan, salah satu hal yang memotivasinya membuat DLCC berawal dari para petani yang sering dilihatnya ketika berangkat sekolah melewati sawah. Dia melihat, meski telah dipupuk, hasil panen sawah belum optimal.
“Waktu sekolah saya sering lewat sawah dan melihat banyak petani memberikan pupuk hanya dengan menebar saja,” papar putra dari pasangan Iyus Hendrawan dan Endang Sri Rejeki ini .
“Padahal ketika saya membaca-baca referensi di internet ada informasi yang mengatakan bahwa pupuk tersebut harus ditakar,” imbuhnya.
Menurutnya, selama ini para petani memupuk tanamannya menggunakan metode Bagan Warna Daun (BWD). Padi dipupuk sesuai dengan skala warna yang ditunjukkan BWD. Kelemahan cara ini adalah jika warna daun tidak sesuai dengan bagan maka akan dihitung rata-rata. Sehingga bisa kelebihan atau kurang.
DLCC yang dibuat Luthfi sanggup mendeteksi warna daun padi. Caranya sederhana, cukup menyelipkan daun tanaman ke dalam lubang pemindai. DLCC yang menggunakan fototransistor ini otomatis akan mendeteksi warna daun dan menunjukkan takaran pupuk nitrogen yang dibutuhkan dalam hitungan kilogram per hektar.
“Dengan menggunakan alat ini, petani bisa mengetahui kebutuhan pupuk tanaman per hektarnya. Untuk satu hektar tanaman, hanya butuh satu sampel,” papar Luthfi sambil menunjukkan alat buatannya.
Dia mengeluarkan total biaya Rp 12 juta selama setahun pengembangan alat tersebut. Modalnya dikumpulkan dari hadiah juara pertama Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diselenggarakan LIPI tahun lalu. Namun, menurutnya, biaya produksi DLCC sebenarnya lebih murah. “Hanya Rp 900 ribu,” ujarnya.
Luthfi bercita-cita alatnya bisa digunakan oleh banyak orang dengan harga yang terjangkau. Saat ini, pengguna DLCC masih dari sekitar tempat tinggalnya saja. “Sejauh ini baru saya gunakan di petani di sekitar tempat tinggal saya. Awalnya mereka tidak mau, tapi ternyata hasil padinya lebih optimal jadi mereka menggunakannya,” terangnya.
“Ini belum dipakai di luar, saya masih menunggu hak patennya keluar. Untuk hak paten ini, saya dibimbing LIPI,” imbuh Luthfi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar