Abu Nawas Akan Dihukum Pancung
Cita-cita atau obsesi menghukum
Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan akal untuk
menjebak Abu Nawas. Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja
menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi
untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih
ada peluang untuk mencari kelemahan Abu
Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama.
Baginda menerima usul yang
cemerlang itu dengan hati bulat. Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil
ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu
memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja
manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu
menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama
sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu
kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai
mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas.
Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke pangkuan siasat
sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang
gantungan atau tempat pemancungan. Benarlah peribahasa yang berbunyi
sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu
Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan
sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti.
Banyak orang yang merasa simpati
atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah
ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak.akan
mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan. Baginda Raja Harun Al Rasyid
benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang
sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya satu orang yang tetap
tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu
Nawas.
Bukankah Alla Azza Wa Jalla lebih
dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha
Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusanNya. Semakin dekat hukuman mati bagi
Abu Nawas; orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin
dekat hukuman bagi dirinya, semakin tenang hatinya. Malah Abu Nawas nampak
setenang air danau di pagi hari. Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang
ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya Tetapi
Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh
untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin,
selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan tidak
mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan.
Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gentingnya. Keyakinan seperti inilah
yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi
hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat tentang akan dilaksanakan
hukuaman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang
waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas.
Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas.
“Adakah permintaan yang terakhir”
“Ada Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas singkat.
“Sebutkan.” kata Baginda.
“Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia.” pinta Abu Nawas.
“Baiklah.” kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas…
“Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja.” kata Abu Nawas memohon.
“Ada Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas singkat.
“Sebutkan.” kata Baginda.
“Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia.” pinta Abu Nawas.
“Baiklah.” kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas…
“Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja.” kata Abu Nawas memohon.
“Engkau memang orang yang aneh.
Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau.
Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa
membawamu kemana-mana.” kata Baginda sambil tertawa.
“Hamba tidak bersenda gurau Paduka
yang mulia.” kata Abu Nawas bersungguh-sungguh. Baginda main terpingkal-pingkal.
Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring.
“Hamba minta dihukum pancung!”
Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat
keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang
lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendariak terhenti.
Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani
menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah terlanjur
mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya.
Kini kesempatan Abu Nawas membela
diri. “Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum
pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di
manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum gantung.
Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?” Olah kata Abu Nawas memaksa
Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas
ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad
ini.
“Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku
ini. Berapa banyakkah bintang di langit?”
“Oh, gampang sekali Tuanku.”
“lya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?” tanya Baginda.
“Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai.”
“Kau ini… bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?”
“Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?”
“Hahahahaha…! Kau memang penggeli hati. Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!”
“Siap Baginda…!” Lalu Baginda memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang kepada manusia terlucu di negerinya itu.
“Oh, gampang sekali Tuanku.”
“lya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?” tanya Baginda.
“Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai.”
“Kau ini… bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?”
“Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?”
“Hahahahaha…! Kau memang penggeli hati. Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!”
“Siap Baginda…!” Lalu Baginda memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang kepada manusia terlucu di negerinya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar