Sabtu, 28 Juli 2012

Bencana Alam Cermin Krisis Spiritual


Tuhan menciptakan alam ini dengan rumusan hukumnya sendiri, yang lazim disebut sebagaisunnatullah. Air disedot oleh matahari dan menggumpal menjadi awan. Hingga saat tertentu, awan mencair dan turun menjadi hujan. Hujan mengguyur daratan, sebagian diserap tanah melalui pepohonan dan sebagian mengalir melalui sungai yang akhirnya bermuara di laut. Air disedot matahari lagi, begitulah seterusnya. Hanya saja, semua proses itu akan berjalan dengan baik selama ekosistem yang mendukungnya memiliki keseimbangan. Jadi, apabila terjadi bencana alam berarti telah terjadi ketidakseimbangan atau lebih tepatnya kerusakan ekosistem. Karena sementara ini hanya manusia yang selalu mendayagunakan alam, jangan-jangan mereka pulalah sebenarnya yang melakukan kerusakan terhadapnya.

Alam merupakan salah satu bagian dari konsep religius (weltanschauung) Islam. Karena itu, dalam perspektif Islam bencana alam sebenarnya memberikan otokritik bagi kita sebagai manusia beragama, sejauhmana nilai-nilai religius mewarnai kebijakan kita tentang lingkungan. Jangan-jangan selama ini kita terjebak dengan kecenderungan-kecenderungan yang vested interest, sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak ramah lingkungan yang berakibat pada eksploitasi alam secara tidak proporsional dan merusak keseimbangan ekosistem. Dalam hal ini, wajar kalau Al-Gore, mantan Wakil Presiden Amerika, dalam bukuEarth in the Balance: Ecology and the Human Spirit menyatakan, “Semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah manifestasi nyata dari krisis spiritual kita”.

Nah, pada tahap inilah statemen Al-Gore di atas sangat menggugat dimensi terdalam dari kemanusiaan kita. Fenomena bencana alam sebenarnya manifestasi nyata dari krisis spiritual, demikian mengikuti bahasanya. Kalau begitu, berarti nilai-nilai keberagamaan kita selama ini di-cuekin begitu saja. Karenanya, mempertimbangkan nilai-nilai religius dalam setiap kebijakan mengenai lingkungan merupakan langkah mendasar yang perlu dilakukan di masa mendatang. Kesadaran ini tidak hanya dilakukan pada tingkat kolektif-formal oleh para aparatus negara, tetapi juga mesti dimulai dari tingkat individual sebagai kesadaran pribadi.

Penegasan Al-Qur’an tentang Alam
Alam beserta isinya, bumi, langit, tumbuhan, binatang, dan sebagainya, diciptakan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai karunia bagi manusia (Q.S. 2: 22). Konsekuensi dari itu, pengrusakan lingkungan di muka bumi ini sangat dimurka oleh-Nya. Pernyataan ayat ini pada hakekatnya menegaskan tentang amanah Tuhan bagi manusia mengenai lingkungan (alam). ‘Aisyah Abdurrahman (Bintusy-syathi’) menganggap bahwa adanya amanah ini menunjukkan kedudukan manusia sebagai khalifah (representasi Tuhan) di bumi beserta implikasi hak dan kewajibannya (Manusia, Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an, LKPSM, 1997). Dengan demikian, pemberdayaan dan pelestarian alam adalah realisasi dari amanah itu.

Memanfaatkan potensi alam dan melestarikannya semaksimal mungkin secara proporsional adalah kemestian yang wajar dilakukan manusia, agar dinamika hidupnya terus berjalan dan keseimbangan alam pun tetap terjaga. Ini menunjukkan adanya hubungan kausalis antara keduanya, satu sisi manusia memiliki hak dan kewajiban terhadap alam, sedangkan di sisi lain alam butuh keseimbangan ekosistem dan memberikan pelayanan bagi manusia. Buah-buahan di pepohonan, ikan di lautan, aneka tambang di perut bumi semuanya fasilitas buat manusia, tetapi juga memerlukan sentuhan tangan-tangan yang kreatif dan produktif biar tetap eksis dan lestari. Sebuah nuansa ideal yang bisa diartikulasikan dalam slogan “living in harmony with nature”.

Berusaha memahami bahwa fenomena alam yang tampaknya begitu biasa bukan hanya fenomena alam belaka, tetapi juga manifestasi kebaikan Ilahi kepadanya, dianggap Toshihiko Izutsu -- seorang ahli semantik yang menaruh perhatian berat terhadap studi al-Qur’an -- sebagai salah satu kondisi esensial atau lebih tepatnya langkah paling awal untuk mencapai keimanan sejati. Ini kenyataan yang sangat mendasar tentang Islam, sebagaimana diajarkan al-Qur’an sendiri. Karena itu, menurutnya, kita hendaknya berterima kasih kepada-Nya untuk semua itu (Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, Tiara Wacana, 1997).

Dalam bahasa lain, Quraish Shihab mengungkapkan bahwa dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya merupakan apresiasi syukur dengan perbuatan, di samping ungkapan syukur dengan hati dan lidah (Wawasan al-Qur’an, Mizan, 1996). Syukur tidak hanya dimanifestasikan melalui ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dengan mendayagunakan dan menjaga segala karunia-Nya secara baik dan benar.

Konsekuensi logis dari deskripsi tadi, rasionalisasi pemahaman “azab” dalam Q.S. 14: 7 (jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah nikmat-Ku dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih), tidak saja dipahami karena manusia melalaikan sholat atau puasa, tetapi lebih dari itu adalah karena mereka melakukan kezaliman-ekologis, dengan penggundulan hutan lindung, pencemaran air dan udara, pembangunan real-estate di daerah resapan air, dan pemusnahan suaka margasatwa, dan seterusnya.

Manusia sebagai Faktor Utama
Fenomena bencana alam tidak hanya sebatas sebuah gejala alam, tetapi lebih dari itu ia bisa menjelaskan banyak hal tentang problematika lingkungan. Bencana alam sebenarnya mendeskripsikan segala masalah kebijakan kita terhadap lingkungan, sejak dari hal yang kecil sampai yang besar, dari tingkat individual sampai tingkat sosial, baik bersifat komunal, nasional, maupun internasional. Kerusakan habitat flora dan fauna, penggundulan hutan, pencemaran sungai dan laut, berkurangnya kawasan resapan air, dan penyempitan daerah aliran sungai merupakan beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya bencana alam dan sekaligus indikator dari problem kebijakan itu.

Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar kembali ke jalan yang benar (Q.S. 30: 41). Berita al-Qur’an ini memberikan peringatan bahwa apapun yang terjadi pada lingkungan semuanya kembali kepada manusia. Kemaslahatan atau kemudharatan yang ditimbulkan alam tergantung bagaimana manusia memperlakukannya. Begitupun dengan bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini. Masalahnya adalah human error, seringkali difaktori oleh manusia sendiri. Sebab, pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu tidak ada yang percuma. “Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci engkau, lindungilah kami dari siksa neraka” (Q.S. 3:191).

Alangkah lebih arif bila kita menyadari bahwa dalam menentukan setiap kebijakan lingkungan semestinya selalu memegang sebuah prinsip yang secara retorik diterangkan al-Qur’an bahwabarang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri (Q.S. 27: 40). Maksudnya, apabila tidak ingin mengalami bencana alam, maka lestarikanlah lingkungan dengan sepatut-patutnya. Semua ini mengindikasikan bahwa ternyata kita telah semakin jauh dari Firman-Nya. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Aduhai Tuhan pemberi karunia,
Engkau tahu aku sangat lemah
untuk menanggung beban siksa dunia meski hanya sedikit,
meskipun semua bencana dan kejelekan dunia teramat singkat masanya.
Serta teramat berat bagi orang yang menanggunnya,
semua itu tidak terjadi kecuali karena murka-Mu.

Ya Rabb
dengan merendah aku memohon ampunanan MU
sayangi kami ya RABBI,.
Dan jauhkan kami dari bencana dari MU,.
Sayangi kami dengan cinta MU,.
Jangan hukum kami dengan murka MU,.
.
Amin.
SILAHKAN DI TANDAI DI SALAH SATU FOTO DI ALBUM ATAS/ DI BAGIKAN,. JIKA YANG DI TANDAI DAPAT TERMOTIVASI TUK BAIK,. INSYAALAH AKAN DI CATATKAN SEBAGAI SUATU AMAL BAIK,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar